Kesimpulan sederhana tersebut bukan hanya dari saya saja, namun cukup banyak juga yang membenarkan fenomena tersebut, bahkan termasuk organisasi yang mengalaminya.
Banyak organisasi profit maupun non -profit yang sudah mendapatkan sertifikasi ISO, terutama ISO 9001 namun faktanya tidak mematuhi apa yang sudah disyaratkan dalam ISO tersebut.
Sertfiikasi ISO digunakan hanya untuk keperluan pemasaran saja, ingin menunjukkan kepada pelanggan kalau perusahaan telah memperoleh sertifikasi ISO. Dengan sertifikat tersebut, perusahaan merasa bahwa kualitas produk atau jasa sudah terjamin.
Dokumen ISO hanya disimpan di dalam almari perusahaan dan dibuka kembali saat audit eksternal dilakukan. Bukankah ISO dibuat untuk menjadi landasaran bagi organisasi agar mampu memastikan kualitas produk atau jasa tetap terjamin.
Bukan menjadi sebuah formalitas belaka, namun memang benar-benar digunakan sebagai guidance. Kumpulan SOP yang telah dibuat tidak dijalankan sebagaimana mestinya bahkan tidak dipatuhi sama sekali. Aneh, namun itulah fakta yang terjadi di lapangan.
Konsultan ISO bahkan hingga badan yang mengeluarkan sertifikasi ISO pun mengetahui fenomena ini. Menjadi sebuah ironi tak kala kepuasan pelanggan menjadi prioritas perusahaan, namun tidak memperhatikan bagaimana kualitas produk atau jasa dikirimkan.
Bukankah untuk menghasilkan produk yang terjaga kualitasnya mesti mematuhi kaidah dan aturan yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Jika aturan tersebut tidak dijalankan dengan baik namun berharap menghasilkan sebuah produk yang berkualitas, ini seperti sebuah permainan sulapan saja. Ada sesuatu yang luput atau lepas dari terjadinya masalah ini.
Ada pertanyaan mendasar terkait hal ini, apa penyebab fenomena tersebut? Mengapa prosedur yang dibuat sendiri tidak dijalankan dan dilanggar sendiri? Apa karena terpaksa atau ada faktor lain?
Hampir sebagian besar organisasi yang tidak patuh terhadap aturan main yang telah ditetapkan mengeluhkan hal yang sama yaitu bagaimana ribetnya implementasi pelaksanaan ISO ditingkatan teknis pelaksanaan SOP. Apalagi jika pelaksanaannya masih berbasis paper.
Cukup banyak prosedur yang harus diikuti, dokumen yang diisi dan diantarkan ke pihak -pihak yang terkait. Sulitnya berkolaborasi antar pihak untuk menjalankan prosedur, ketidaktahuan bagaimana memantau pelaksanaan eksekusi prosedur, dan beragam fakta lapangan lainnya.
Tidak ada jaminan kalau perusahaan yang menggunakan sistem terkomputerisasi pasti telah menjalankan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen ISO. Yang sering juga masih tidak adanya kesesuaian antara dokumen ISO dengan sistem komputer.
Apalagi jika perusahaan sekedar membeli aplikasi yang sudah jadi tanpa adanya proses penilaian kesesuaian antara modul yang ditawarkan aplikasi dengan dokumen ISO. Aplikasi sekelas ERP (Enterprise Resource Planning) pun tidak mesti bisa bersinergi dengan dokumen ISO.
Akhirnya yang terjadi seolah-olah ada dua aktivitas besar dalam perusahaan yang telah bersertifikasi ISO. Aktivitas pertama adalah yang berkenaan dengan operasional perusahaan sehari-hari, sedangkan aktivitas kedua dilakukan untuk memenuhi tuntutan ISO. Jelas hal ini akan menyebabkan inefisiensi atau pemborosan waktu, tenaga, dan biaya. Apalagi jika kedua aktivitas tersebut saling tidak bersinergi.
Idealnya, perusahaan yang ingin menerapkan sistem ISO yang efektif dan efisien memang sudah sepatutnya menggunakan pendekatan paperless. Hal ini berarti bahwa untuk menjalankan prosedur dapat memanfaatkan sistem yang terkomputerisasi. Sistem terkomputerisasi haruslah dibangun dengan menggunakan dokumen ISO sebagai acuan dasar, tidak boleh mengembangkan sistem tersendiri diluar ketetapan yang sudah dibuat.
Kondisi ideal tersebut relatif cukup sulit untuk dipenuhi, terutama oleh tim pengembang aplikasi baik dari internal perusahaan maupun dari pihak vendor aplikasi. Pengembangan sistem ISO yang terkomputerisasi mutlak menggunakan pendekatan full custom.
Setiap perusahaan bersifat unik dan spesifik, bahkan tidak ada perusahaan yang identik sistem operasionalnya walaupun berada di sektor industri yang sama. Tidak banyak perusahaan yang dapat mengimplementasikan 100% sistem ISO yang terkomputerisasi. Banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari perencanaan, implementasi, eksekusi, hingga sosialisasi ke pihak stake-holder.
Ada contoh yang cukup mengawatirkan, yaitu sebuah perusahaan yang telah bersertifikasi ISO 9001 mempunyai dokumen SOP beserta form yang mengatur tentang proses pembelian barang. Sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan, maka proses pembelian barang ini melibatkan dua partisipan, yaitu bagian Pembelian dan Keuangan. Output SOP ini nantinya adalah berupa Purchase Order yang akan dikirimkan ke pemasok.
Fakta yang terjadi, perusahaan tersebut menggunakan aplikasi komputer yang sudah jadi untuk mengurusi proses pembelian. Modul pembelian barang yang terdapat di aplikasi tersebut bersifat general alias umum serta tidak menggambarkan sama sekali prosedur yang tertulis di dalam dokumen ISO perusahaan tersebut.
Singkat cerita, pastilah apa yang dikerjakan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses pembelian barang tidak sama dengan dokumentasi ISO. Begitu ada audit eksternal, perusahaan cukup kalang-kabut untuk melakukan ‘pengkodisian’ agar tidak menjadi temuan oleh tim auditor.
Sebenarnya ‘pengkodisian’ ini pun juga tidaklah mudah dilakukan, apalagi terkait dengan catatan atau record. Belum lagi jika proses tersebut saling berkaitan dengan proses-proses yang lain.
Management Representative
Terdapat perubahan pada ISO 9001 versi 2015 terkait dengan Management Representative (MR). ISO 9001:2015 tidak mewajibkan adanya MR seperti pada versi 2008. Peranan MR pada ISO:2008 cukup sentral dan berpengaruh, karena dia adalah wakil dari manajemen perusahaan yang menentukan berhasil atau tidaknya penerapan manajemen mutu di perusahaan.
Dengan peniadaan MR ini maka diharapkan top management akan lebih proaktif terlibat implementasi sistem manajemen mutu. Peranan-peranan MR selanjutnya akan didistribusikan kepada stake-holder yang terkait dengan implementasi manajemen mutu, bahkan melibatkan juga peranan top management.
ISO 9001:2015 mengacu kepada proses dengan disertai pemikiran berbasis resiko. Tentu saja hal ini akan lebih mudah diwujudkan jika top mangement terlibat aktif dalam mengawal implementasi ISO. Terkadang diperlukan arahan dan kebijakan dari top management dalam perencanaan proses, apalagi jika melibatkan antar bagian atau departemen.
Sebenarnya perubahan ISO 9001:2015 memberikan wewenang dan kesempatan kepada top management untuk lebih banyak berinteraksi dengan sistem manajemen mutu. Setidak-tidaknya top management mempunyai kepedulian yang lebih dari sebelumnya. Proses dan pemikiran berbasis resiko ini lebih dekat ke arah kebijakan atau policy organisasi yang dikeluarkan langsung oleh top management.
Sudah saatnya para top management turun ke bawah untuk mengawal implementasi ISO. ISO 9001:2015 sekarang cukup fleksibel dan adaptif untuk disandingkan dengan sistem manajemen yang lain. Ada beberapa hal yang dihilangkan dari versi 2008 guna memudahkan implementasi dan bisa bersinergi dengan berbagai sistem manajemen yang sudah diterapkan di perusahaan.
Pendekatan Proses dan Pemikiran berbasis Resiko
ISO 9001:2015 menggunakan pendekatan proses yang diintegrasikan dengan pemikiran berbasis resiko. Hal ini berarti bahwa perusahaan diarahkan untuk lebih memperhatikan proses guna tercapainya sebuah keluaran yang baik, baik pada fase perencanaan, implementasi, pelaksanaan, pemantauan jalannya proses, serta perbaikan.
Kurangnya kesadaran dari pihak manajemen terhadap pendekatan proses ini akan memberikan andil sulit terlaksanakannya implementasi ISO 9001:2015. Apalagi pada ISO versi terbaru ini, semua aktivitas dalam proses perlu dilakukan kajian dengan menggunakan pemikir berbasis resiko.
Pendekatan proses ini seharusnya memudahkan perusahaan dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Semua karyawan atau pihak-pihak yang terlibat mudah memahami proses-proses apa saja yang dimiliki oleh perusahaan. Bagaimana proses tersebut dijalankan dan dipantau.
Semua pihak yang terlibat juga memahami pula resiko-resiko apa saja yang kemungkinan muncul selama pelaksanaan proses. Kolaborasi antar partisipan yang menjalankan proses sudah semestinya akan mudah dibentuk jika implementasi menggunakan pendekatan proses.
Selain itu, sistem akan menjadi lebih transparan dan dapat dijangkau oleh orang banyak. Tidak ada sesuatu yang bisa ditutupi atau disembunyikan. Informasi terkait dengan proses selama proses tersebut dijalankan juga bisa tersedia dengan lengkap. Informasi yang bisa digunakan sebagai bukti untuk dijadikan bahan keputusan (evidencebased decision making).
Keputusan yang diambil tidak boleh berdasarkan prasangka ataupun persepsi tanpa ada dasar yang jelas. Pendekatan proses ini sangat relevan di dalam menyajikan berbagai data dan informasi atas pelaksanaan sebuah proses.
Saat top management berperan aktif dalam pelaksanaan ISO 9001:2015 ini serta penggunaan pendekatan proses beserta pemikiran berbasis resiko yang diterapkan dengan baik, maka seharusnya terjadi sinkronisasi dan sinergi yang baik antara pelaksanaan dan apaapa yang sudah ditetapkan dalam ISO.
Sistem manajemen mutu dibuat bukan untuk mempersulit perusahaan, namun untuk memberikan arahan bagaimana menjaga agar kualitas produk tetap terjaga atau bahkan bisa ditingkatkan. Awareness ataupun sertifikasi ISO seharusnya menjadi penegasan bahwa perusahaan atau organisasi memanglah telah melaksanakan ISO secara konsisten dan benar, bukan sekedar formalitas belaka.
(DE)